Sunday, June 19, 2011

Review On Jurnal

Review On Jurnal
Pemberdayaan Perempuan, Kredt Mikro, dan Kemiskinan :
Sebuah Studi Empiris

Agus Suman
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya


LOGO TAZKIE.jpg





Di Susun oleh:
Miftahul Futuh (0812125)


Submitted to:
Alla Asmara




SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI ISLAM TAZKIA
2011
PENDAHULUAN
Kebijakan pemerintah tiada lain hanyalah untuk kesejahteraan dan kemajuan masyarakat. Pemerintah menginginkan masyarakatnya tidak jatuh miskin dan mengharapkan masyarakatnya sejahtera. Untuk menunjang hal itu pemerintah melakukan sebuah upaya program PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang dilakasanakan di Provinsi Jawa Timur Cakupan wilayah pelaksanaannya adalah 2.202 desa dalam 151 kecamatan dalam 27 kabupaten. Penanggulan kemiskinan a la PPK ini dilakukan melalui: (a) Peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (b) Pelembagaan sistem pembangunan partisipatif; (c) Pengoptimalan fungsi dan peran pemerintah lokal; (d) Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana dasar masyarakat; (e) Pengembangan kemitraan dalam pembangunan.
Pendek kata, program PPK pada derajat tertentu adalah program pengguliran dana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di perdesaan. Pengalokasian dana PPK ini di antaranya adalah untuk pembangunan sarana/ prasarana, untuk pengembangan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan untuk Simpan khusus Pinjam Perempuan (SPP).

TUJUAN PENELITIAN
Ada dua alasan dalam penelitian ini :
1. Berapa besarnya pengaruh pinjaman UEP terhadap peningkatan pendapatan pemanfaat dana UEP?,  
2. Berapa besarnya pengaruh pinjaman SPP terhadap peningkatan pendapatan pemanfaat dana SPP?
3. Bagaimanakah kinerja SPP (relatif dibandingkan dengan kinerja UEP)?”











PEMBAHASAN
REVIEW JURNAL
Agus Suman menyimpulkan bahwa kemiskinan dalam sebuah masyarakat bukanlah perkara yang mudah untuk dinilai (assessed). Perkara ini muncul sejak tahun 1970an, ketika para pakar ekonomika mendapat kritikan tajam karena ’terlalu memuja’ pendapatan (income) per kapita (GDP per kapita) sebagai indikator kemiskinan. GDP adalah kependekan dari Gross Domestic Product, yang mencerminkan kemampuan penduduk dalam wilayah/ negara tertentu untuk menghasilkan income. Ia diindonesiakan menjadi PDB (= Produk Domestik Bruto). Semakin kecil GDP per kapita yang dihasilkan oleh suatu masyarakat, maka semakin miskin masyarakat itu.
GDP per kapita berdasarkan daya beli ini tidaklah  serta-merta kemudian diratifikasi oleh semua sarjana. Indikator ini dianggap ’sangat ekonomi’ sehingga tidak memberikan ruang bagi sarjana-sarjana nonekonomi untuk berbicara tentang kemiskinan. Indikator ini dikatakan hanya mencerminkan kuantitas, dan tidak berbicara tentang kualitas hidup masyarakat. Dari sini kemudian lahir indikator alternatif untuk mengukur kemiskinan, yaitu Physical Quality of Life Index (PQLI) atau lebih dikenal sebagai basic need approach. PQLI adalah sebuah indikator kesejahteraan yang mempertimbangkan kecukupan sandang, kecukupan pangan, dan ketersedian papan.
Uraian di atas menegaskan bahwa pendapatan masyarakat atau GDP, bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan bukan lagi melulu bersangkut-paut dengan uang nominal yang diterima sebagai pendapatan (income). Ia tidak juga berbicara tentang ketersediaan sandang, pangan, papan. Ia harus pula mempertimbangkan aspek pendidikan dan aspek kesehatan.
Konsekuensi dari kemiskinan adalah tidak adanya pilihan bagi penduduk miskin (poverty giving most people no option) untuk mengakses kebutuhankebutuhan dasar, misalkan (1) kebutuhan pendidikan; (2) kesehatan; dan (3) kebutuhan ekonomi-kepemilikan alat-alat produksi yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan. Kondisi demikian menimbulkan rangkaianrangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi satu sama lain, sedemikian rupa sehingga menimbulkan keadaan di mana suatu negara akan tetap miskin dan akan mengalami kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Nurkse (dalam Sukirno, 1981:218) mengatakan bahwa suatu negara adalah miskin karena memang miskin (a country is poor because it is poor). Ia menjelaskannya dengan konsep lingkaran ‘setan’ kemiskinan atau lebih dikenal sebagai vicious circles of povert.
Lingkaran setan kemiskinan ini disebabkan oleh keadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan terciptanya tingkat pembentukan modal. Sedangkan pembentukan modal diperoleh dari tingkat tabungan. Ada dua jenis lingkaran perangkap kemiskinan, yaitu dari sisi penawaran dan permintaan modal. Pertama, penawaran modal. Tingkat pendapatan masyarakat yang rendah diakibatkan oleh produktivitas rendah, menyebabkan kemampuan masyarakat untuk menabung rendah. Pada akhirnya, tingkat pembentukan modal juga rendah. Efek dari pembentukan modal rendah adalah negara menghadapi kekurangan barang modal, implikasinya tingkat produktivitas tetap rendah. Kedua, permintaan modal. Di negara miskin keinginan untuk menanamkan modal rendah. Hal ini lebih disebabkan luas pasar untuk berbagai jenis barang terbatas. Di samping itu, pendapatan masyarakat juga rendah yang diakibatkan produktivitas mereka rendah.
Namun masyarakat tidak perlu hawatir akan hal tersebut, artinya masih banyak solusi untuk memotong agar bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan itu, di antaranya :
1. Menggali potensi kekayaan alam.
2. Meningkatkan produktivitas kerja.
3. Menggiatkan masyarakat untuk menabung.
4. Memberikan pinjaman untuk modal usaha.











METODOLOGI
Karena bentuknya kusioner, maka terdapat tiga jenis data yang diolah, yaitu (a) data dengan skala ordinal, (b) data dengan skala interval, dan (c) data dengan skala rasio (perbandingan). Data itu kemudian ditabulasi secara deskriptif dan dianalisis dengan metode regresi. Tabulasi atau deskripsi data ini utamanya untuk memprofilkan tingkat kemiskinan responden. Sedangkan analisis regresi—yaitu ordinary least square (OLS)—untuk mengukur arah (sign) hubungan dan besarnya (magnitude) hubungan di antara dua variabel yang menjadi perhatian studi ini.

























PENUTUP

KESIMPULAN
Dilihat dari segi produktifitas pinjaman, pinjaman perempuan (SPP) lebih mampu mengentaskan kemiskinan ketimbang pinjaman lelaki (UEP). Hal ini disebabkan (1) Kinerja tunggakan SPP lebih baik ketimbang UEP, dan (2) Pemanfaat dana UEP lebih terbebani utang ketimbang pemanfaat dana SPP. Dua ’penjelas’ ini tampaknya saling berkaitan. Semakin tinggi beban utangnya, semakin tinggi kemungkinannya untuk menunggak pembayaran cicilan utang itu. Sebaliknya, semakin lama umur dan besar tunggakannya, semakin berat beban utangnya. Studi ini melihat bahwa perempuan juga mampu secara kolektif mengkoordinasikan kaumnya untuk berkinerja lebih baik dalam pengelolaan pinjamannya. Karena, kaum perempuan mempunyai tanggung jawab domestik yang lebih besar dibanding kaum laki-laki. Perasaan bertanggung jawab ini membuat mereka merasa mahal untuk berlama-lama meninggalkan rumahnya, apalagi meninggalkan desanya. Peran domestik ini memungkinkan kaum perempuan perdesaan untuk secara intens berinteraksi dengan kelompoknya, sedemikian rupa sehingga fungsi social coordination bisa lebih sering terjadi.
           

No comments:

Post a Comment